Selasa, 25 November 2014

Atresia Ani dan Penangannannya


Buat teman - teman mahasiswi kebidanan, keperawatan dan berbagai profesi kesehatan lainnya serta bagi orang - orang tua, yang sedang mencari materi maupun referensi tentang Atresia Ani,, berikut sedikit ulasan tentang Atresia ani, Teori dan Penanganannya... dari ~Midwifes-lhyn~ ^_^





BAB II
TINJAUAN TEORI




A.    TINJAUAN PUSTAKA
1.      Defenisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Atresia ani / Atresia rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara kongenital (Dorland,1998). Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rektum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak
adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).

2.      Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006).
Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K, 2005).
Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi ( Boocock G, 1987).

3.      Etiologi
Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia ani kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti peggunaan obat-obatan dan konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini masih belum jelas (Bobak, 2005).
Atresia ani dapat disebabkan karena:
a.    Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
b.   Gangguan organogenesis dalam kandungan.
c.    Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).

4.      Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).



5.      Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
a.       Kelainan Rendah (Low Anomaly/Kelainan Translevator), ciricirinya adalah rektum turun sampai ke otot puborektal, spingter ani eksternal dan internal berkembang sempurna dengan fungsi yang normal, rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak kulit dan rektum paling jauh 2 cm. Tipe dari kelainan rendah antara lain adalah anal stenosis, imperforata membrane anal, dan fistula ( untuk laki-laki fistula ke perineum, skrotum atau permukaan penis, dan untuk perempuan anterior ektopik anus atau anocutaneus fistula merupakan fistula ke perineal, vestibular atau vaginal).
b.      Kelainan Intermediet/Menengah (Intermediate Anomaly), ciricirinya adalah ujung rektum mencapai tingkat muskulus Levator ani tetapi tidak menembusnya, rektum turun melewati otot puborektal sampai 1 cm atau tepat di otot puborektal, ada lesung anal dan sfingter eksternal. Tipe kelainan intermediet antara lain, untuk laki-laki bisa rektobulbar/rektouretral fistula yaitu fistula kecil dari kantong rektal ke bulbar), dan anal agenesis tanpa fistula. Sedangkan untuk perempuan bias  rektovagional fistula, analgenesis tanpa fistula, dan rektovestibular fistula.
c.       Kelainan Tinggi (High Anomaly/Kelainan Supralevator). Kelainan tinggi mempunyai beberapa tipe antara lain: laki-laki ada anorektal agenesis, rektouretral fistula yaitu rektum buntu tidak ada hubungan dengan saluran urinary, fistula ke prostatic uretra. Rektum berakhir diatas muskulus puborektal dan muskulus levator ani, tidak ada sfingter internal. Perempuan ada anorektal agenesis dengan fistula vaginal tinggi, yaitu fistula antara rectum dan vagina posterior. Pada laki dan perempuan biasanya rectal atresia.

6.      Tanda dan Gejala
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.  Gejala itu dapat berupa :
a.       Perut kembung.
b.      Muntah.
c.       Tidak bisa buang air besar.  Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah
a.       Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
b.      Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
c.       Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
d.      Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

7.      Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat ditemukan :
a.       Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b.      Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c.       Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
a.       Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
-          Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
-          Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
b.      Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk  menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).

8.      Pemeriksaan penunjang
Uji laboratorium dan dignostik atresia ani menurut Betz & Sowden (2009: 294-295) :
a.      Pemeriksaan rektal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.
b.      Jika ada fistula, urine dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
c.       Pemeriksaan sinar-X lateral inversi (teknik Wangensteen-Rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rektum yang buntu pada atau di dekat perineum; dapat menyesatkan jika rektum penuh dengan mekonium yang menghalangi udara sampai ke ujung kantong rektal.
d.      Ultrasonografi dapat membantu dalam menentukan letak kantong rektal.
e.      Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan cara menusukkan jarum tersebut sambil melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap sebagai defek tingkat tinggi.
f.        Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :
·      Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
·      Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
Dibuat foto anteroposterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bayangan  radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

9.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradillah, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula (Faradillah, 2009).
Leape (1987) menganjurkan pada :
a.       Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b.      Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c.       Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d.      Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.
Teknik Operasi
a.       Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.
b.      Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple.
c.       Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm didepannya.
d.      Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.
e.       Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah
f.       tampak dinding belakang rektum.
g.      Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.
h.      Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
i.        Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.










Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-laki.















Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus perempuan.
Anoplasty
PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.

Penatalaksanaan Post-operatif
Perawatan Pasca Operasi PSARP :
a.       Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.
b.       2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk.
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka.
Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung, vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

10.  Komplikasi
Komplikasi jangka pendek yang dapat terjadi pada klien atresia ani adalah asidosis hiperkloremi, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan, dan kerusakan uretra. Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi antara lain eversi mukosa anal, stenosis, infaksi dan kostipasi, masalah toilet training, prolaps mukosa anorectal, dan fistula kambuhan. Komplikasi lainnya antara lain obstruksi intestinal dan inkontinensia bowel (Ade, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar