Buat teman - teman mahasiswi kebidanan, keperawatan dan berbagai profesi kesehatan lainnya serta bagi orang - orang tua, yang sedang mencari materi maupun referensi tentang Atresia Ani,, berikut sedikit ulasan tentang Atresia ani, Teori dan Penanganannya... dari ~Midwifes-lhyn~ ^_^
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A.
TINJAUAN
PUSTAKA
1. Defenisi
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa
anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis
rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul
sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb)
(Faradilla, 2009).
Atresia ani / Atresia rekti adalah
ketiadaan atau tertutupnya rectal secara kongenital (Dorland,1998). Atresia ani
adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus,
rektum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002). Atresia ani merupakan kelainan
bawaan (kongenital), tidak
adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
2. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di
seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006).
Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada
laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang
paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak ditemui
adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham
K, 2005).
Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester
menunjukkan bahwa atresia ani letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan
atresia letak tinggi ( Boocock G, 1987).
3. Etiologi
Penyebab kelainan ini belum diketahui
secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia ani kemungkinan disebabkan oleh
faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti peggunaan obat-obatan dan
konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini masih belum jelas (Bobak,
2005).
Atresia ani dapat disebabkan karena:
a. Putusnya
saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
b.
Gangguan organogenesis dalam kandungan.
c.
Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial.
Salah satunya adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa
risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum
sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan
antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome).
Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang
berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia
ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
4. Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan
septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan
adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin
mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus
urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan
terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90%
dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada
laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat
(rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula
menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
5. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip
Hamami, atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 5
kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel
tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada
laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal,
stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari
kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel
tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada
perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel
tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
a. Kelainan Rendah (Low Anomaly/Kelainan Translevator), ciricirinya
adalah rektum turun sampai ke otot puborektal, spingter ani eksternal dan
internal berkembang sempurna dengan fungsi yang normal, rektum menembus
muskulus levator ani sehingga jarak kulit dan rektum paling jauh 2 cm. Tipe
dari kelainan rendah antara lain adalah anal stenosis, imperforata membrane
anal, dan fistula ( untuk laki-laki fistula ke perineum, skrotum atau permukaan
penis, dan untuk perempuan anterior ektopik anus atau anocutaneus fistula
merupakan fistula ke perineal, vestibular atau vaginal).
b. Kelainan Intermediet/Menengah (Intermediate Anomaly),
ciricirinya adalah ujung rektum mencapai tingkat muskulus Levator ani tetapi
tidak menembusnya, rektum turun melewati otot puborektal sampai 1 cm atau tepat
di otot puborektal, ada lesung anal dan sfingter eksternal. Tipe kelainan
intermediet antara lain, untuk laki-laki bisa rektobulbar/rektouretral fistula
yaitu fistula kecil dari kantong rektal ke bulbar), dan anal agenesis tanpa
fistula. Sedangkan untuk perempuan bias
rektovagional fistula, analgenesis tanpa fistula, dan rektovestibular
fistula.
c. Kelainan Tinggi (High Anomaly/Kelainan Supralevator). Kelainan
tinggi mempunyai beberapa tipe antara lain: laki-laki ada anorektal agenesis,
rektouretral fistula yaitu rektum buntu tidak ada hubungan dengan saluran
urinary, fistula ke prostatic uretra. Rektum berakhir diatas muskulus
puborektal dan muskulus levator ani, tidak ada sfingter internal. Perempuan ada
anorektal agenesis dengan fistula vaginal tinggi, yaitu fistula antara rectum
dan vagina posterior. Pada laki dan perempuan biasanya rectal atresia.
6. Tanda dan Gejala
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani
terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala
itu dapat berupa :
a. Perut
kembung.
b. Muntah.
c. Tidak
bisa buang air besar. Pada pemeriksaan
radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana
terdapat penyumbatan (FK UII, 2009).
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia
ani letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu
sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal
intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal
letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery
University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu
atau lebih abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara
50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang
lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan
tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler (Grosfeld J, 2006).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan
bersamaan dengan malformasi anorektal adalah
a. Kelainan
kardiovaskuler.
Ditemukan pada
sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui
adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti
oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
b. Kelainan
gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui
berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%).
c. Kelainan
tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang
yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae,
skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan
spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma
intraspinal.
d. Kelainan
traktus genitourinarius.
Kelainan traktus
urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani. Beberapa
penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak
tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal,Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
7. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat ditemukan :
a. Bayi
cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
b. Tidak
ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
c. Bila
ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah
letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk
mendiagnosa menggunakan cara:
a. Bayi
laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
-
Fistel perianal (+), bucket handle,
anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah maka
dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi
-
Bila mekoneum (+) maka atresia letak
tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian
dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan
invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak
rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel
dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
b. Pada
bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel
perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel
rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila
fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit
dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostom terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan
bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka
kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan
adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam
setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest
position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling
distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien atresia ani tidak
selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus
ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah
perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada
bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak
ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa
keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini
dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur
otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan
intrabdominal harus cukup tinggi untuk
menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus
ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk
menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt
M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat
"bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya
garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot
perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien
dengan atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle"
(skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran
pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt M, 2007).
8. Pemeriksaan penunjang
Uji laboratorium dan dignostik atresia ani menurut
Betz & Sowden (2009: 294-295) :
a. Pemeriksaan
rektal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan
pada gangguan ini.
b. Jika
ada fistula, urine dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel
mekonium.
c. Pemeriksaan
sinar-X lateral inversi (teknik Wangensteen-Rice) dapat menunjukkan adanya
kumpulan udara dalam ujung rektum yang buntu pada atau di dekat perineum; dapat
menyesatkan jika rektum penuh dengan mekonium yang menghalangi udara sampai ke
ujung kantong rektal.
d. Ultrasonografi
dapat membantu dalam menentukan letak kantong rektal.
e. Aspirasi
jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan cara menusukkan jarum tersebut
sambil melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah
masuk 1,5 cm, defek tersebut dianggap sebagai defek tingkat tinggi.
f.
Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :
· Udara
dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
· Tidak
ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini
harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan
anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
Dibuat foto anteroposterior (AP)
dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus
benda bayangan radio-opak, sehingga pada
foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi
dapat diukur.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung
klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi
terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan
prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak
menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena
dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan
postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum
dan pemotongan fistel (Faradillah, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai
dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani
secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat
ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik,
radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan
oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak
adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang
kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan
ada tidaknya fistula (Faradillah, 2009).
Leape (1987) menganjurkan pada :
a. Atresia
letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia
letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani
ekternus.
c. Bila
terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada
stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. Pena secara tegas menjelaskan bahwa
pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih
dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu.
Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital
anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.
Teknik
Operasi
a. Dilakukan
dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi pasien tengkurap
dan pelvis ditinggikan.
b. Stimulasi
perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal
dimple.
c. Insisi
bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm didepannya.
d. Dibelah
jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.
e. Os
koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah
f. tampak
dinding belakang rektum.
g. Rektum
dibebas dari jaringan sekitarnya.
h. Rektum
ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
i.
Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan
sampai tension.
Gambar 1. Algoritma
penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-laki.
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan
malformasi anorektal pada neonatus perempuan.
Anoplasty
PSARP
adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika bayi
tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3
bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada
kasus fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau
laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal.
Demikian juga pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka
lebih dari 3 cm.
Penatalaksanaan
Post-operatif
Perawatan
Pasca Operasi PSARP :
a.
Antibiotik intra vena diberikan selama 3
hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.
b.
2
minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2
kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang
dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan
bila busi nomor 13-14 mudah masuk.
Kalibrasi anus
tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri
bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.
Pada kasus
fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus
kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik
diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm.
Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa
salep dapat digunakan pada luka.
Dilatasi anus
dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah,
kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun
keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang
diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat
lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan
diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1
bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran
yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
Setelah
dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum
bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung,
vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati
eritema popok ini.
10. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek yang dapat
terjadi pada klien atresia ani adalah asidosis hiperkloremi, infeksi saluran
kemih yang berkepanjangan, dan kerusakan uretra. Komplikasi jangka panjang yang
dapat terjadi antara lain eversi mukosa anal, stenosis, infaksi dan kostipasi,
masalah toilet training, prolaps mukosa anorectal, dan fistula kambuhan.
Komplikasi lainnya antara lain obstruksi intestinal dan inkontinensia bowel
(Ade, 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar